Jika dilihat dari sejarahnya, fatwa adalah
salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan
yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah
mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi
sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari
beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada
masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi
berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar
dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih Hijaz yang terkenal
dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu.
Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab yang
lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa
berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern
Arabic, menyebutkan bahwa fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official
legal opinion” (Hans Wehr:1980). Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai
hukum negara, tetapi juga hukum dengan kata jamak ahkam menyangkut hukum taklifi
tentang wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat
dalam bidang hukum selalu ditanyakan kepada beliau.
Dalam Qur’an banyak ungkapan: “Mereka bertanya
kepadamu tentang. . .” dan untuk menjawabnya digunakan ungkapan “Katakanlah
(wahai Muhammad) bahwa . . .” atau “Ketahuilah bahwa . . .” Beliau sendiri juga
sering memulai pembicaraan dengan ungkapan “Tahukah kalian tentang . . .”
Pertanyaan ini biasanya dijawab oleh pendengar beliau dengan ungkapan “Allah
dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu tentang hal itu!” Setelah itu Nabi baru
menyebutkan masalah yang hendak beliau terangkan.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum
ditanyakan kepada para khalifah dan
sahabat Nabi (al-Khudhari Bek:1980). Kemudian, persoalan
hukum masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan
adapun di daerah-daerah yang jauh dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab
oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti.
Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn
adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H), Atha’ bin Abi Rabah (w.
115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di berbagai negara, jabatan mufti menjadi
jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria, Mufti
Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi
Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa
ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti
adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu
sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’)
yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari
hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah (Makki:
2004).
Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah
Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa
yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam
al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili Tuhan
Seluruh Alam (Makki: 2004).
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang
hukum syar’i (sah secara syariah)
tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam) (az-Zuhaili:
1984). Hukum
Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i,
yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya di dunia (di depan
pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang tidak ada
hubungannya dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang hakim
memutus berdasarkan fakta yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin apakah
peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di
kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla
bis-sara’ir (Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah
mengendalikan yang tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan
putusannya tidak menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia
tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam
kenyataan yang ia lihat, tetapi bila hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan,
maka itu termasuk ilmu Allah. Karena itu, seperti disabdakan dalam sebuah
Hadits riwayat Muslim, bila hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh
(berijtihad), tetapi ternyata salah di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan
sebuah pahala sebagai balasan atas kesungguhannya. Bila putusannya benar
di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua kali, yaitu balasan atas
kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya. Berbeda dengan fatwa mufti, maka
putusan peradilan bersifat mengikat.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana
nantinya di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya,
sekalipun orang tidak melihatnya. Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan
Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, putusan pengadilan dan fatwa mufti sebenarnya mempunyai
kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda dalam
pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar putusan,
sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya apakah ia akan
menjalankannya atau tidak. Dahulu, di
Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli
waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan
berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa
apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for
granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya
adalah seperti yang difatwakan. Ini berbeda dengan putusan peradilan tentang
masalah waris di mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan
fakta sebenarnya atau tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah
berapa jumlah harta warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai
dengan posita penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan,
apakah para pihak setuju atau tidak.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah hukum
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam. Sedangkan
mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru yang dirumuskan
dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam. Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad and
fatwa are used interchangeably, the main difference between them being that
ijtihad has a greater juridical substance which explains its own evidential
basis, where fatwa often consists of a verdicts or opinion that is given in
response to a particular question. It is not a requirement of fatwa to explain
its evidential basis and it may be either very brief or in greater depth and
detail”
“Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih
berganti. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa ijtihad mempunyai
substansi yuridis yang lebih besar yang menjelaskan dasar pembuktiannya
sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan putusan atau opini yang diberikan
dalam bentuk sebuah jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat
bahwa fatwa menjelaskan dasar pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau
lebih mendalam dan rinci.” (Kamali: 2008)
Sumber Rujukan:
Hans Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans Ltd.,
1980)
Muhammad
al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’
al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1980)
Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa
az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam, 1435/2004)
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1984),
Mohammad
Hashim Kamali, Shariah Law: An
Introduction (Oxford: Oneworld, 2008)
If you're attempting to burn fat then you absolutely have to try this brand new tailor-made keto diet.
BalasHapusTo design this keto diet, certified nutritionists, fitness couches, and cooks have joined together to produce keto meal plans that are effective, convenient, cost-efficient, and delicious.
Since their grand opening in 2019, thousands of people have already completely transformed their figure and health with the benefits a professional keto diet can offer.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-confirmed ones offered by the keto diet.