HIBAH SEBAGAI REKAYASA PENOLAKAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

Dalam Filosofi Hukum Islam, topik hangat yang diperbincangkan adalah kebolehan hibah dijadikan sebagai harta waris dengan cara merekayasa penolakan terhadap hukum kewarisan yang berlaku

Latar Belakang

Pada dasarnya pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan pengertian sedekah, hadiah dan athiyah, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
  1. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan “sedekah”
  2. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta dinamakan “hadiah”
  3. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dinamakan “hibah”
  4. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit menjelang kematiannya dinamakan “athiyah”
Untuk itu penulis memfokuskan pembahasan dalam makalah dengan masalah hibah saja walaupun sebenarnya hibah mencakup hadiah dan sedekah sebab keduanya sama saja hanya berbeda dalam masalah maksudnya saja.

 

Pengertian, Landasan, Rukun, Syarat, dan Hukum Hibah

1. Pengertian Hibah
Dalam Al-Qur’anul Karim terdapat firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 38:
“Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".
 Dan menurut terminology syari’at Islam:
عَقْدٌ يُقِيْدُ التَّمْلِيْكَ بِلاَ عَوْضٍ حَالَ اَكْيَاةِ تَطَوُّعًا  
Artinya:
“Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”
 
Menurut ulama Hanabilah :
تَمْلِيْكُ جَائِزٍ التَّصَرُّفِ مَالًا مَحْلُوْمًا اَوْ مَجْهُوْلاً تَعَدَّرَ عِلْمِهِ مَوْجُوْدًا مَقْدُوْرًا عَلَى تَسْلِيْمِهِ غَيْرَ وَاجِبٍ فِى الْحَيَاةِ بِلاَ عَوْضٍ بِمَا يُعَدَّ هِبَّةٌ عُرْفًا مِنْ لَفْظِ هِبَّةٍ وَتَمْلِيْكٍ وَ نَحْوِهَا
Artinya:
“Memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasharuf-kan  berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa adanya pengganti  yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan hafazh atau tamlik (menjadikan milik.”
 

2. Landasan hibah
            1) Di dalam Al-Qur’an:
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)”
            2) Dalam As-Sunnah
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ عَبْدُ الله بْنِ عُمَرَ وَ عَائِشَةِ ر.ع. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. تَهَادُوا تَجَابُوْا
           Artinya:
“Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah  r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.”

     3.      Rukun Hibah
Menurut Ulama Hanafiyah rukun Hibah adalah Ijab dan Qabul. Dalam Kitab Al-Mabsuth rukun hibah adalah Ijab and Qabul dan Qadhu (pemegang dan penerima).
Menurut Jumhur Ulama rukun Hibah ada empat:

  1. Wahib (pemberi)
  2. Mauhub Lah (penerima)
  3. Mauhub (barang yang dihibahkan)
  4. Shighat (Ijab dan Qabul)

     4.      Syarat Hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi  hibah dan sesuatu yang dihibahkan:
1) Syarat-syarat penghibah

  • Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
  • Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
  • Penghibah itu orang dewasa, berakal dan rasyid
  • Tanpa ada unsur paksaan
2) Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
  • Berhak memiliki dan benar-benar ada di waktu di beri hibah
  • Memegang hibah atas seizin Wahib
3) Syarat-syarat barang yang dihibahkan
  • Harus  ada waktu hibah
  • Berupa harta yang  kuat dan bermanfaat
  • Milik sendiri
  • Dapat dimiliki dzatnya
  • Tidak berhubungan dengan tempat lain/terpisah
5.  Hukum (Ketetapan) Hibah
  a.  Hukum hibah
Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhubnya (penerima hibah) tanpa adanya pengganti
 

 b. Sifat hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu terkesan termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha.
 

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil, jika belum bercampur dengan hak orang lain. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
اَلْعَائِدِ فِى هِبَّتِهِ كَاالْعَائِدِ فِى قَيْئِهِ
Artinya:
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”
 

Hibah Sebagai Fungsi Sosial

Hibah yang berarti pemberian atau hadiah memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan kepada perorangan maupun lembaga. Rasulullah beserta sahabat-sahabatnya pun pernah memberikan dan menerima sesuatu dalam bentuk hibah.  

Fungsi hibah di antaranya adalah untuk mempererat hubungan kekerabatan atau silaturrahim antar sesama umat manusia dan sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
تَهَادُوْا تَحَابُوْا
Artinya:
“Saling memberi hadiahlah kamu sekalian maka kalian akan saling mengasihi.” (HR. Bukhori, al-Nasai, al-Hakim, dan Baihaqi).[1]
 

Berkaitan dengan fungsi hibah sebagai fungsi sosial maka nabi Muhammad melarang keras untuk menarik kembali hibah yang sudah diberikan kecuali hibah orang tua yang diberikan kepada anaknya, karena agama masih bisa mentoleransinya sebab pada hakikatnya harta anak itu adalah harta orang tuanya juga.[2] Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لَايَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ اَنْ يُعْطِيَ اَوْ يَهِبَ هِبَةً ثُمَّ يَرْجِعَ فِيْهَا إِلَّا الْوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِى وَلَدَهُ
Artinya:
“Tidak halal bagi seseorang yang memberi hibah atau pemberian kemudian ditariknya kembali, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.” (HR. Ashabus Sunan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar).
 

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa hibah yang telah diberikan dilarang diminta kembali karena dapat menyebabkan kekecewaan dan kebencian. Sehingga seorang yang menarik kembali hibahnya diumpamakan dengan anjing yang menjilat ludahnya kembali. Dalam hal mencabut kembali pemberian tersebut alasan jumhur ulama mengharamkannya adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
اَلْعَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِيْ قَيْئَهِ (رواه ابو داود والنسائى)
Artinya:
“Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilati ludahnya.” (HR. Abu Daud dan Nasai).
 

Dalam prakteknya ternyata nabi dan sahabatnya dalam memberikan dan menerima hadiah tidak saja diantara sesama muslim tetapi juga dari atau kepada orang yang berbeda agama, bahkan dengan orang musyrik sekalipun. Nabi pernah menerima pemberian dari orang Kisra, dan beliau pernah mengizinkan Umar Ibn Khttab untuk memberikan sebuah baju kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekkah.[3]
 

Korelasi Hibah Dan Kewarisan Dalam Islam

Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut. Oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi.
 

Berkaitan dengan masalah tersebut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat” dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. 

Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.[4]
 

Hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan seluruh harta kepada salah seorang anaknya, orangtua haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak itu. Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di antara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.[5]
 

Dalam beberapa hadis dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberikan semua harta kepada salah seorang anak saja. Jika hibah yang diberikan oleh orang tua kepada salah satu anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut KHI didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Sering terjadi apabila pembagian waris yang dilakukan secara tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. 

Sehubungan dengan hal ini Umar bin Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga saja, sehingga mereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.[6]
 

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya hibah harta kepada anak atau ahli waris secara umum diperbolehkan dalam Islam, bahkan sangat dianjurkan. Dengan kata lain, diperbolehkan bagi pemilik harta untuk membagi hartanya kepada anak-anak atau keluarganya sebelum ia meninggal dunia, tentunya dengan berpegang pada prinsip keadilan.

Menurut penulis ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membagi warisan setelah si pemilik harta meninggal. Dengan pembagian harta ketika si pemberi dan si penerima masih sama-sama hidup, maka konflik (perebutan harta warisan) dapat diminimalisir karena ruang dialog antara pemilik dan para penerima harta masih terbuka lebar, sehingga kalau ada permasalahan dalam hibah tersebut maka musyawarah kekeluargaan pun dapat menjadi sebuah solusi.[7]
 

Hibah Sebagai Rekayasa Penolakan Hukum Kewarisan Islam

Berbicara hubungan antara hibah sebagai rekayasa hukum kewarisan Islam, tidak terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Tentu saja kondisi sosial yang terjadi di Indonesia pasti berbeda dengan apa yang terjadi di negara muslim lainnya. Dan apabila dipaksakan hukum  Kewarisan Islam tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam kitab fiqih klasik, maka yang terjadi adalah ketidaksinkronan dalam proses pemecahan masalah yang berkaitan dengan Hukum Kewarisan Islam.
 

Diantara permasalahan yang sering muncul, contohnya hubungan anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi karena tidak memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian contoh lain, adanya kecenderungan para orang tua di Indonesia untuk menyamaratakan prosentase pembagian harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan.[8]
 

Berdasarkan Firman Allah dalam  surat Al Ahzab ayat 4 dan 5, Anak  angkat  dan  orang  tua  angkat  tidak  saling  mewarisi.  karena anak angkat dan orang tua angkat tidak  memiliki  hubungan  nasab,  sehingga  tidak  memiliki  hubungan  kekerabatan, konsekuensinya anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi. Tetapi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan anak angkat dan orang tua angkat tak ubahnya  seperti  anak  kandung  yang  memiliki  hubungan  batin  yang  amat  kuat, sehingga anak angkat disunatkan, disekolahkan bahkan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebaliknya anak angkat rela merawat dan mengurus orang tua  angkat di masa tuanya tak ubahnya sebagai bagian dari sebuah keluarga.[9]
 

Hal ini menjadi problematika tersendiri karena dengan ikatan emosional yang sedemikian kuat antara orang tua angkat dengan anak angkat, ketika orang tua angkat tersebut meninggal maka anak angkat tersebut tidak mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu sebagai solusinya hendaknya orang tua angkat sewaktu hidupnya memberikan hibah kepada anak angkat tersebut, apabila sudah terlanjur meninggal dunia dapat ditempuh dengan pemberian wasiat wajibah untuk mendapatkan harta warisan sebagaimana yang telah diatur dalam  pasal 209 KHI.
 

Contoh Kedua, Persoalan antara pembagian prosentase harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 2:1. Seperti apa yang telah termuat dalam Al Qur’an surat Al Nisa ayat 11, sehubungan dengan itu Munawir Syadjali di era tahun 80-an dalam rangka aktualisasi hukum Islam, pernah mengungkapkan bahwa banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan sehingga yang menjadi  harta warisan hanya sebagian kecil saja. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk “menghindari  (kelah)” dari sistem bagi waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian warisan 1 : 1.[10]
 

Contoh-contoh tersebut diatas dapat memberikan kesimpulan bahwa ada satu istilah yang muncul yaitu penggunaan hibah sebagai rekayasa untuk menolak hukum kewarisan Islam, khususnya dengan permasalahan yang bebenturan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang disebut oleh Munawir Syadzali sebagai Hiyal Al Syar’iyah.[11]   
 

Kata al-hiyal adalah bentuk plural dari kata al-hilah yang berarti suatu tipu daya, kecerdikan, muslihat, atau alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari suatu beban atau tanggung jawab. Atau dalam bahasa lain dapat disebut dengan istilah kilah.[12]
Hiyal asy-syar`iyah terjadi dalam pratik hibah, salah satunya ialah adanya  keinginan  pemberi  hibah  (wahib)  untuk memberikan hartanya  kepada penerima hibah dalam jumlah yang diinginkannya guna menghindari  ketentuan hukum lain yang membatasi jumlah harta yang boleh diterima oleh penerima hibah.
 

Muhammad Said al-Asmawi mengungkapkan hal ini, dan praktik hilah seperti ini ketika sampai di Pengadilan akan menimbulkan banyak kesulitan. Muhammad Amin al-Asmawi memberi saran bagi orang tua yang  ingin memberikan hak secara merata bagi anak-anaknya menggunakan institusi wakaf ahli (wakaf keluarga). Melalui wakaf harta asal tidak boleh  dialihkan  kepemilikannya,  tetapi  hasilnya  dinikmati  secara  merata  oleh seluruh para ahli waris.[13]
 

Dalam tulisannya yang lain, Munawir berpendapat perbuatan hibah seperti ini merupakan penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Qur`ani. Memang betul melakukan hibah juga merupakan ajaran agama, tetapi melakukan hibah dengan semangat demikian (agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapat porsi yang sama) itu apakah sudah benar menurut jiwa agama. Atau legalkah perbuatan tersebut di mata ajaran agama.[14]
 

Majid Khadduri ketika menguraikan perbedaan antara keadilan substantif dan  keadilan prosedural, menilai pebuatan hilah dalam bentuk hibah karena ingin memberikan  harta dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang  dibolehkan  dalam  hukum  kewarisan  (faraidh)  bukanlah  perbuatan  ilegal. Hilah seperti ini adalah legal fiction atau fiksi hukum yang bijak yang sebenarnya merupakan subordinasi keadilan substantif.    Atas dasar pemikiran seperti  inilah menurut Khadduri para ulama dalam mazhab Hanafi membolehkan pemakaian hilah  dalam  kerangka fiksi hukum yang bijak (wisdom legal fiction), bukan hilah dalam menghindari kewajiban-kewajiban agama yang absolut keadilannya.[15]
 

Menurut A. Qodri Azizy penggunaan institusi hibah dalam pembagian  harta  warisan  merupakan  hal  yang  cukup  banyak  dilakukan  oleh masyarakat Islam di Indonesia. Qodri Azizy menganggapnya sebagai bagian dari praktik al-ahkam al- wijdaniyah sebagaimana yang  diperkenalkan oleh Muhammad Salam Madkur. Al- ahkam al-wijdaniyah adalah hukum  berdasarkan perasaan hati, yang berpegang kepada asas saling merelakan (`an taradhin) antara sesama ahli waris sehingga para ahli waris tidak perlu ke pengadilan.[16]
 

Seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :
“Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.”
 

Dalam hal ini, bisa dianalisis  lebih  lanjut,  maka Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam memuat aspek urf, karena setelah melihat nas, baik itu Al-Qur’an maupun Hadist, tidak dijumpai n as  yang menunjukkan tentang diperhitungkannya hibah dari orang tua kepada anak sebagai warisan. 

Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Hibah  tersebut   merupakan  adat  kebiasaan  yang  telah  mengakar  dan  telah diterima oleh masyarakat Indonesia., adat istiadat semacam ini menurut kaidah- kaidah  Hukum  Islam  disebut  urf.  Yang  dimaksud  dengan  urf  adalah  segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia,  yang telah menjadi kebiasaan  atau tradisi,   baik   bersifat   perkataan,   perbuatan   atau   dalam   kaitannya   dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga dengan adat (kebiasaan).[17]

 

Simpulan
  1. Hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada karenanya. Landasan hibah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 177, surat An-Nisa ayat 4, dan As-sunnah. Rukun hibah: 1. Wahib,  2.  Mauhub lahu, 3. Mauhub, 4. Ijab dan Qabul. Syarat Hibah: 1. Penghibah, 2. Barang yang dihibahkan, 3. Penerima Hibah. Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhubnya (penerima hibah) tanpa adanya pengganti.
  2. Hibah yang berarti pemberian atau hadiah memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan kepada perorangan maupun lembaga.
  3. Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut.
  4. Penggunaan hibah sebagai rekayasa untuk menolak hukum kewarisan Islam, khususnya dengan permasalahan yang bebenturan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Dapat disebut termasuk dalam Hiyal Al Syar’iyah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asmawi, Muhammad Said. 2005. Problematika & Penerapan Syariat Islam Dalam Undang-Undang, Penerjemah: Saiful Ibad, Jakarta: Gaung Persada Press.
Dede Ibin. 2002.  Hibah, Fungsi  Dan  Korelasinya  Dengan  Kewarisan, Jurnal Hukum Pengadilan Agama  Kabupaten  Rangkasbitung.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
H. Zainuddin, 2008 Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hadi, Abdul. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara
Harahap, M. Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Hendarsanto, Prastowo. 2006.  Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Universitas Dipenogoro, Semarang.
Khadduri, Majid 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam, Penerjemah : Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar, Surabaya: Risalah Gusti.
Sabiq, Sayyid. 1988. Fiqh al Sunnah terjemahan oleh Drs. Mudzakir, Bandung
Syafe’i, Rahmat. 2000.  Fiqih Muamalat. Bandung: Pustaka Setia.
Mukhtar Zamzam, 2011 Hiyal Asy-Syar`Iyah, Dalam Praktik Hibah Dan Wasiat, Makalah Rakernas MARI, Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk. 1993.  Studi Islam Jilid III: Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Link: http://ww.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Hibah.pdf,


endnote:


[1]Abdul Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2010, 252
[2] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III: Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, 76
[3] http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Hibah.pdf, diakses pada tanggal 18 Oktober 2012
[4] Ali Bungasaw dalam H. Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta Sinar Grafika, 2008), hlm. 25.
[5] Ali Bungasaw dalam H. Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta Sinar Grafika, 2008), hlm. 185-186.  Menurut sebagian fuqaha’, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sifatnya sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadis| yang menyatakan perlunya penyamaan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadis| yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang berkelakukan tidak baik atau nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
[6]`  M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini, berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) mediasi (mediation) melalui sistem kompromi (compromise) di antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai: penolong (helper), dan fasilitator. 2) konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator (conciliator), pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap di tangan para pihak. Lebih lanjut baca M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta Sinar Grafika, 2006), hlm. 236.
[7] Sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi درء المفاسد مقدم على جلب المصالح  (mencegah suatu kerusakan harus lebih didahulukan daripada mendatangkan suatu kemaslahatan).
[8] Dede Ibin  Hibah, Fungsi  Dan  Korelasinya  Dengan  Kewarisan, Jurnal Hukum Pengadilan Agama  Kabupaten  Rangkasbitung th. 2002
[9] ibid
[10] ibid
[11] Mukhtar Zamzam, Hiyal Asy-syar`iyah, dalam praktik hibah dan wasiat, Makalah Rakernas MARI, Jakarta, 2011. Hal. 2
[12] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Th. 2005. Hal. 567
[13] Muhammad Said  al-Asmawi,  Problematika & Penerapan Syariat Islam Dalam Undang-Undang, Penerjemah : Saiful Ibad, Jakarta : Gaung Persada Press. 2005, hal. 85
[14] Mukhtar Zamzam, ----------. Hal. 6
[15] Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Penerjemah : MochtarZoerni dan Joko S. Kahhar, Surabaya : Risalah Gusti. 1999. hal. 124.
[16] Mukhtar Zamzam, ----------. Hal. 9

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Posting Komentar