Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
menganut asas kesalahan sebagai
salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional yang
akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit
sebagai pasangan
asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak
dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability,
erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada
pula ketentuan tentang
subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya
diakui sebagai
prinsip
umum. Perumusan asas
ini biasanya terlihat dalam
perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak
pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini
tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ;
actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur
dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di
Indonesia.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang
tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi
pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari
pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle )
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum
apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah
diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh
karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak
dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan
dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai
kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan
antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian
rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan
diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat
dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban
Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam
istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas
suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam
Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak
pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat
untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka
harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal
27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang
objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai
pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban
pidana ialah
diteruskannya
celaan
yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif
kepada seseorang yang
memenuhi
syarat untuk
dapat
dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban
pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak
pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam
bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat
padanan katanya, yaitu aansprakelijk,
verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5] Orangnya
yang aansprakelijk
atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi
perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai
istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan
menetapkan
suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan
persoalan pemilihan
dari berbagai
alternatif.
Dengan
demikian, pemilihan
dan penetapan sistem
pertanggungjawaban
pidana
tidak
dapat dilepaskan
dari berbagai pertimbangan
yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan
masalah tersebut
di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara
tentang
konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari
segi
falsafat
hukum,
seorang filosof besar
dalam bidang hukum pada
abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah
mengemukakan pendapatnya ”I
…. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally
and other is legally subjected to the exaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability
tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi
liability. Teori pertama,
menurut Pound, bahwa
liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang
telah “dirugikan”. Sejalan
dengan semakin
efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan
dari sudut kerugian atau penderitaan
yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai
pertanggungjawaban
pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila
ia
tidak
melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana
unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban
pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA |
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam
hukum
pidana.
Unsur perbuatan
pidana
terletak dalam lapangan objektif
yang diikuti oleh
unsur sifat
melawan hukum, sedangkan
unsur pertanggungjawaban pidana merupakan
unsur
subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan
(kesengajaan
dan kealpaan).
a.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung
jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal
KUHP
sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua
istilah tersebut tidak dijelaskan lebih
lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan
yang
tidak jelas
itu, timbul
pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari
sebenarnya KUHP kita juga
menganut pengecualian
terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui
kebijakan
legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di
luar KUHP, Seperti
contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja
dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai
subjek delik
dan pertanggungjawaban
pidana, serta
proses beracara di pengadilan.
Dari
masing-masing undang- undang
tersebut dapat
dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan
sosial
ekonomi Masyarakat
yang
berdampak
pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common
law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini
berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya,
undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat
tidak dipertanggungjawabkan.[9] Perumusan
pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal
44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat
mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan
dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya
seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep
pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk
mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan
dengan fungsi preventif hukum pidana.[11]
Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat
menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian,
konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh
pembuat.
Pertanggungjawaban
pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak
pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena
telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan tertentu.
Dapat
dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan
tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak
pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan
tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah
hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
Kesimpulan
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia
baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.
Pertanggungjawaban pidana dikarenakan
berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan
faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat
berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya
sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur
melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah
menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak
sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini
harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak
pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian
unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya,
selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat
kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya
seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita , Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan
Pertama,
Jakarta: Yayasan
LBH.
Hamzah, Andi, DR. SH. 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum
Pidana Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan,
Jakarta: Kencana.
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta:
Rineka Cipta
Prakoso, Djoko, SH.
1987 Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Zaenal Abidin, Andi, 1983, Hukum
Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Website :
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
http://id.shvoong.com/tags/pertanggungjawaban-pidana
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html
http://fristianhumalanggi.wordpress.com/2008/04/15/pertanggungjawaban-dalam-hukum-pidana/
Perundang-undangan:
Undang-undang No. 7 tahun Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan Ke 18, Bumi Aksara,
Jakarta.
Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Jakarta.
[1]
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
[2] Hamzah Hatrik,
SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
[3] Djoko Prakoso,
SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75
[4] Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
[5] DR. Andi Hamzah,
SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta:
Rineka Cipta, 1994, hal.131
[6] W.P.J. Pompe,
op.cit hal. 190
[7] Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH,
1989, hal 79
[8] Ibid, halaman 80
[9]
Andi
Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar
Grafika, 1983, hal 260
[10]
Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa
Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62
[11]
Ibid hal 63
Terima kasih...
BalasHapusAtas ilmunya.