BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Turunnya wahyu memang telah selesai namun usaha untuk memahami wahyu belum selesai. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin harus bisa memecahkan masalah atau problem yang terjadi di kalangan masyarakat Islam. Masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam terus berubah-ubah. Dengan begitu perkembangan keilmuan dalam dunia Islam pun turut berkembang pesat hingga terlahirlah para imam madzhab dengan berbagai ajarannya yang fenomenal hingga puncaknya dunia Islam mencapai masa keemasan dan menjadi pusat peradaban dunia pada waktu itu. (650 – 1000 M)
Para Imam madzhab hanya mengarang kitab-kitab fiqh yang hanya berkenaan dengan masalah-masalah yang terjadi di zaman dan di tempat dimana sang imam hidup dan tinggal. Oleh karena itu diperlukan lagi kegiatan ijtihad mutlak yang langsung kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Kitab dan Al-Hadist. Namun para Ulama yang hidup di generasi setelah imam-imam madzhab enggan untuk menggali hukum dari sumber aslinya karena ada beberapa factor yang mendorong. Yang di antaranya adalah mereka sudah merasa cukup terhadap pendapat imam mazhab. Oleh karena itu langkah yang dilakukan oleh para ulama’ pada waktu dimana kegiatan ijtihad tidak lagi dilakukan oleh para ulama. Dan mereka pun larut dalam melakukan taqlid, yaitu mengikuti pendapat imam-imam madzhab terdahulu.
Dengan berjalannnya waktu, dan dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka pemerintahan Islam pun terbagi atas beberapa wilayah yang akhirnya menyebabkan terpecah belahnya kekuatan Islam. Hal ini juga menyebabkan melemahnya perkembangan keilmuan dan kebebasan berpikir umat Islam hingga akhirnya perkembangan Hukum Islam mengalami kemunduran (1250-1500 M).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keadaan Hukum Islam pasca Imam Madzab ?
2. Apa penyebab kemunculan Taqlid dan Ittiba?
3. Apa pengertian Syarah dan Hasyiyah?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui kondisi Hukum Islam selepas Imam Mazhab.
2. Mengetahui hal-hal seputar Taqlid dan Ittiba’.
3. Mengetahui definisi Syarah dan Hasyiyah serta contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI FIQH DI AWAL KEMUNDURANNYA
Pada masa ini terjadi keredupan dari semangat para ulama dan keinginan mereka untuk melakukan ijtihad mutlak kembali pada dasar syari’at yang pokok untuk menuntaskan permasalahan-parmasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat Islam.
Masa ini bersamaan waktunya dengan masa kemunduran dalam sejarah Islam. Pemerintahan Islam tidak lagi semaju masa-masa sebelumnya, namun telah terbagi ke dalam negara-negara kecil yang dipimpin oleh para amir. Hal ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan fiqh dan kehidupan para mujtahid.
Periode ini juga dikenal dengan periode ditutupnya pintu ijtihad. Masa ini berlangsung sejak abad keempat Hijriyah (350 H) dan terus beranjut hingga saat ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para ulama enggan untuk melakukan ijtihad kembali. Diantaranya:
a. Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme madzhab imam) dikalangan pengkut madzhab. Para ulama’ merasa lebih baik mengikuti pendapat yang sudah ada dan berkembang dalam madzhab yang dianut dari pada mengikuti metode imam madzhabnya untuk melakukan ijtihad.
b. Munculnya kitab-kitab fiqh yang disusun oleh tiap-tiap madzhab, sehingga menurut Abu Zahro hal ini juga mempengaruhi terhadap pandangan umat islam bahwa mereka cukup merujuk pada buku-buku yanga ada pada madzhab yang mereka anut.
c. Para penguasa memilih para hakim yang hanya bertaqlid pada imam madzhab yang ia ikuti. Sehingga fiqh yang berkembang hanya fiqh yang diikuti oleh sang hakim.[1]
d. Terpecahnya Daulah Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan-kerajaan kecil yang para raja, penguasa, dan rakyatnya saling bermusuhan. Mereka saling memfitnah, peperangan dan tipu daya pun juga mereka lakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Sehingga mereka tidak menyempatkan diri untuk menengok ilmu pengeahuan. Akibatnya terjadilah krisis ilmu pengetahuan dikalangan umat islam.[2]
B. TAKLID DAN ITTIBA’
Taklid secara etimologi berarti menirukan orang lain atau ikut orang lain. Dengan demikian kata “Taklid” memiliki kesamaan arti dengan kata-kata Ittiba’, Iqtida’, dan Iktifa’, hanya saja kata “Taklid” lebih banyak dipakai dalam arti “Mengikuti perbuatan-perbuatan”, dan “Ittiba” sering digunakan dalam masalah “Mengikuti paham-paham” dan “Iqtida” lebih sering dipakai untuk istilah-istilah dalam ilmu sosiologi dengan menggunakan istilah Taqalid yang berarti : Tradisi atau Perbuatan-perbuatan yang bersifat tradisional dan tidak berdasar pada landasan syari’ah. Pengertian dan hukum Taqlid
Dr. Zakiyyuddin Tsaban mena’rifkan taqlid sebagai berikut :
التقليد هو الأخذ بقول الغير من غيرمعرفة دليله
Artinya :
“ Taqlid ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber perkataan itu.” [3]
Sedangkan menurut istilah “Taqlid” ialah mengikuti pendapat orang lain dalam urusan keagamaan tanpa menyelidiki dalil-dalilnya dari Al Quran dan Al Hadits atau berarti mengikuti dan menerima hasil ijtihad para ahli tanpa ada upaya pemeriksaan terhadap dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang dipakai oleh para mujtahid.
1. Konsep Taklid
Mengingat tidak semua orang memiliki kemampuan dalam memahami hukum Islam secara langsung dari sumbernya, bahkan dalam kecerdasan, daya tangkap dan sarana keilmuan mereka berbeda, maka mereka yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dengan kelengkapan semua persyaratan, dipebolehkan untuk melakukan suatu penggalian dan pemahaman secara langsung dari sumbernya. Akan tetapi bagi mereka yang belum, bahkan tidak memiliki sama sekali kemampuan untuk itu, maka secara faktual, eksistensi taklid tetap saja dominan bagi mereka.
Sekalipun demikian, yang perlu disadari bersama adalah bahwa taklid itu bukanlah suatu metode keilmuan yang baik, sebab untuk memperoleh suatu pengetahuan yang baik dengan validitas keilmuannya yang dapat dipertanggungjawabkan hanya bisa dicapai melalui metode “Nadhar”, dalam pengertian melalui suatu penalaran, penelitian, dan pengkajian secara cermat dan mendalam. Inilah yang disebut: “Metode-Ijtihad”.
Dari faktor tersebut mayoritas ulama bersepakat untuk menyatakan bahwa taklid itu tidak dapat dijadikan dasar pengambilan hukum dalam bidang akidah.
Dengan demikian, maka muncullah kesepakatan dari para mujtahid untuk membuat konsep tentang taklid dengan mengatakan bahwa dasar hukum dari suatu akidah adalah nash yang bersifat “Qathiyyah Ad Dilalah”, dalam pengertian nash yang tidak mengandung unsur penta’wilan, sehingga tidak boleh taklid. Sedang dalam bidang hukum dari suatu tindakan praktis, taklid tetap dibenarkan, sebab dalam masalah hukum taklifi, seseorang dibenarkan melakukan sesuatu tindakan berdasarkan nash yang “Dhanniyah ad-Dilalah”, bahkan sebagian besar hukum taklifi berdasarkan “Dilalah Dhanniyah”.
2. Dasar Hukum Taklid
Dengan penjelasan definisi dan konsep taklid seperti di atas, maka dapat dinyatakan bahwa orang yang sudah memenuhi persyaratan dan sarana berijtihad, maka baginya tidak diperbolehkan mengikuti (taklid) pendapat orang lain dengan menyalahi hasil ijtihadnya sendiri, sebab iya dituntut untuk selalu bersikap konsisten dalam mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
Akan tetapi jika dalam satu persoalan ia sendiri belum sempat melakukan ijtihad, sedang orang lain sudah mendapatkan keputusan hukumnya, maka menurut pendapat yang paling kuat ia tetap dituntut untuk melakukan ijtihad sebagai tugas utamanya, selama waktu pemecahannya masih cukup.
Sedangkan bagi mereka yang belum atau tidak memenuhi persyaratan dalam ijtihad dan tidak memiliki sarana untuk berijtihad, sekalipun mereka bersatatus ulama, apalagi mereka yang awam, maka hukum memaksakan diri untuk melakukan ijtihad adalah haram.[4]
Disamping taqlid yang diperbolehkan, terdapat pula beberapa taqlid yang dilarang, antara lain sebagai berikut :
1. Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
2. Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
3. Taqlid terhadap seseorang yang pendapatnya bertentangan dengan ajaran Islam.[5]
3. Pengertian dan Hukum Ittiba’
Ittiba’ ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan memahami atau mengerti, baik cara-cara maupun alasan-alasan yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk mengalirkan atau menetapkan garis-garis hukum mengenai sesuatu hal tertentu.
Orang-orang yang melakukan ittiba’ disebut muta’abi’ yang jama’nya disebut muttabi’un, bila seseorang tidak sanggup berijtihad, maka hukum ittiba’ dibolehkan (ibahah).
4. Tujuan Ittiba’
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk suatu perbuatan yang utama, maka hukumnya menjadi wajib kalau sekiranya kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat memahami secara baik agama kita dan semua peraturan yang ada didalamnya.kita diwajibkan bertanya apabila kita tidak mengerti, karena mengerti dan mengetahui dalilnya merupakan factor yang sangat penting dalam kesempurnaan amal kita.[6]
C. SYARAH DAN HASYIYAH
Kita telah mengenal garis perkembangan pemikiran sistem hukum Islam yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh sejak dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di masa para Imam Madzhab. Sampai dengan masa itu, yang kita saksikan dalam sejarah perkembangan fiqh ialah dinamika dan kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan tenggang rasa yang besar.[7]
Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah Saw, namun tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacat. Demikian pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridhai keduanya) dalam banyak masalah dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam al-Syafi'i dan gurunya Imam Malik, dalam banyak masalah pula, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, namun tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka menghina yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat. Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala kebaikan mereka itu.[8]
Setelah masa-masa Imam Madzhab lewat, maka yang terjadi adalah pengembangan dan pertumbuhan madzhab itu sendiri. Buah Ijtihad dan Pemikiran para Imam Madzhab sendiri menjadi tolak ukur, dan menjadi acuan yang seterusnya berkembang menjadi aliran sendiri-sendiri (self-succifent). Misalnya Imam Syafi’i, menunjukan keengganannnya untuk menjadi pusat para pengikutnya, tetapi apa yang terjadi setelah beliau tiada adalah para pengikut-pengikut ini membentuk satu kesatuan pemikiran yang mengikuti pemikiran Imam Syafi’i, dan hal inilah yang disebut dengan Madzhab.
Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu, menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada. Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para pengikut tokoh yang kelak disebut "Imam Madzhab" tersebut.
Tapi sayangnya, pada masa itu terjadi degradasi pada diri umat muslim, yang menjadi indikatornya adalah rendahnya tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual, maka munculah masa yang dinamakan masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas syarah).
Umat Muslim pada masa itu dalam kondisi tarumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, dan yang muncul adalah keinginan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Tapi sayangnya keinginannya tersebut memunculkan dogma Taqlid yang berakibat pada tertutupnya pintu ijtihad dan pengekangan kreativitas intelektual.
Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan seorang Muslim memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung, merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu madzhab seperti itu dapat dibenarkan. Begitu pula larangan mencampuradukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam pemahaman.
Hal ini berpengaruh pada hasil buah karya intelektual pada masa itu, para pengikut-pengikut Madzhab tertentu berlomba-lomba mengelaborasi karya lain yang lebih orisinil yang dipandang sebagai teks inti atau matan dalam bentuk syarah, tetapi syarah bukanlah akhir dari kegiatan intelektualitas pada masa itu, karena muncul buah karya yang juga mengelaborasi syarah lebih lanjut dalam bentuk hasyiyah.
Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dan dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah "habis" dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern. Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat Islam terkena penyakit "puas diri", akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad).
Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan orisinalitasnya. Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat kondusif. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus, sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal.[9]
Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis, meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al Kahf/18:109).
[2] Prof.Abdul Wahab Kholaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung,CV Pustaka Setia,2000) hal 102
[3] Drs. Khairul Umam dan Drs. H. A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh 2 (Bandung, CV Pustaka Setia, 2001) hal 154
[4] Drs. Muhammad Ma’sum Zein. MA, Study Analisis Istinbath Para Fuqoha, (Jombang, Darul Hikmah, 2008), hal 106-109
[5] Ibid, hal 155-156
[6] Drs. Khairul Umam dan Drs. H. A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh 2 (Bandung, CV Pustaka Setia, 2001) hal.163
[7] Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al- Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at Nahdlat al-'Ulama, tt.). hal. 11. Risalah ini ditulis pada 1360 H atau 1941 M).
[8] Ibid hal. 12
[9] E-book : Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina
0 komentar:
Posting Komentar