A. Latar Belakang Kemunculan Fatwa dalam Peradilan Islam
Jika dilihat
dari sejarahnya, fatwa adalah salah satu pranata dalam pengambilan keputusan
hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat
dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran
masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya
kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat
dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman
fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman
fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada
masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam,
yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih
Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah
mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat
dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang
menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh perubahan
zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Fatwa adalah
“pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”.[1]
Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum
dengan kata jamak ahkam menyangkut
hukum taklifi tentang wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat dalam bidang hukum
selalu ditanyakan kepada beliau.
Dalam Qur’an
banyak ungkapan: “Mereka bertanya kepadamu tentang. . .” dan untuk menjawabnya
digunakan ungkapan “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa . . .” atau “Ketahuilah
bahwa . . .” Beliau sendiri juga
sering memulai pembicaraan dengan ungkapan “Tahukah kalian tentang . . .”
Pertanyaan ini biasanya dijawab oleh pendengar beliau dengan ungkapan “Allah
dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu tentang hal itu!” Setelah itu Nabi baru
menyebutkan masalah yang hendak beliau terangkan.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama
secara umum ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi.[2]
Kemudian, persoalan hukum masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada
hakim pengadilan dan adapun di daerah-daerah yang jauh dari pengadilan,
pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti.
Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H), Atha’
bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di berbagai negara, jabatan
mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti
Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan
lain-lain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat
berperan seperti Nabi Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai
sabda beliau bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti
adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu
sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’)
yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari
hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah.[3]
Al-Qirafi
melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan
mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’)
mewakili Allah terhadap apa yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim
menamakan kitabnya sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi
atau Nasehat Mewakili Tuhan Seluruh Alam).[4]
Karena itu,
fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i
(sah secara syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min
ghair al-ilzam).[5]
Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat
duniawi, bagaimana tampaknya di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan
perbuatan atau tindakan lahir, yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak
tampak yang bersifat batin. Seorang hakim memutus berdasarkan fakta yang ia
lihat, dan ia tidak tahu secara batin apakah peristiwa itu sebenarnya seperti
yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di kalangan hakim muslim: Nahnu
nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir (Kami memutus dengan apa
yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang tidak tampak). Hakim memutus
sebatas kemampuannya dan putusannya tidak menjadikan yang batil menjadi hak
atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula
mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia lihat, tetapi bila hakikatnya
tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu Allah. Karena itu,
seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, bila hakim telah
berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah di sisi
Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas
kesungguhannya. Bila putusannya benar
di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua kali, yaitu balasan atas
kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya. Berbeda dengan fatwa mufti, maka
putusan peradilan bersifat mengikat.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat
ukhrawi, bagaimana nantinya di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan
kenyataan yang sebenarnya, sekalipun orang tidak melihatnya. Segi ini
menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang
menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, putusan pengadilan dan fatwa mufti
sebenarnya mempunyai kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi
berbeda dalam pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar
putusan, sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya
apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Dahulu, di Peradilan Agama, ada yang disebut
fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli waris) dan putusan tentang masalah
waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan berdasarkan data yang diberikan
oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa apakah data tersebut akurat atau
tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for granted bahwa seandainya data
itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah seperti yang difatwakan. Ini
berbeda dengan putusan peradilan tentang masalah waris di mana datanya
diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta sebenarnya atau
tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa jumlah harta
warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai dengan posita
penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan, apakah para pihak
setuju atau tidak.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti
menjawab masalah hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam
hukum Islam. Sedangkan mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum
baru yang dirumuskan dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam. Mohammad Hashim
Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad dan
fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara keduanya adalah
bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang menjelaskan
dasar pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan putusan atau
opini yang diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Tidak menjadi syarat bahwa fatwa menjelaskan dasar pembuktiannya, bisa dalam
bentuk pendek atau lebih mendalam dan rinci.”[6]
B. Definisi dan Syarat-syarat Mufti
Secara sederhana ifta’ (memberikan fatwa) dapat diartikan sebagai
“usaha memberikan pernjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang
yang belum mengetahuinya”. Sedangkan mufti sendiri adalah orang yang
berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus
diketahui dan diamalkan oleh umat.
Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan
tersesat bila ia salah dalam memebrikan fatwa. Oleh dengan demikian ia harus
memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat seorang mufti dapat dikelompokkan
menjadi empat, yaitu:
1.
Syarat umum. Karena ia akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan
dengan hukum syara’dan pelaksanaannya maka ia haruslaah seorang mukalaf yaitu
muslim, dewasa dan sempurna akalnya.
2.
Syarat keilmuan, yaitu bahwa ia ahli dan memiliki kemampuan untuk
berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang
berlaku bagi seorang mujtahid antara lain mengetahui dalil-dalil sam’i dan
dalil-dalil aqli.
3.
Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini
dituntut dari seorang mufti karena secara langsung ia akan menjadi panutan umat
dalam beragama.
4.
Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai sebagai ulama’ panutan
yang oleh al-hamidi diuaraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk
mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang dan berkecukupan.
Ditambahkan sifat lain oleh imam ahmad sebagaimana dinukil oleh Al-Qoyyim
yaitu: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat.
Selanjutnya muncul permasalahan, bolehkan seorang seseorang yang
belum mencapai tingakat mujtahid memberikan fatwa?. Dalam hal ini meringkas
beberapa pendapat, yaitu:
1.
Orang yang memiliki kemampuan untuk tafri’ dan tarjih meskipun
belum mencapai derajat mujtahid (maksudnya adalah mujtahid mutlak) boleh
berfatwa dengan berpedoman kepada madzhab imam mujtahid yang diikutinya dengan
ketentuan ia memahami secara baik madzhab imam yang dijadikan sebagai rujukan dan meyakini pendapat imamnya
tersebut lebih kuat.
2.
Tidak boleh orang dalam tingakatan seperti ini memberikan fatwa
karena ia belum memenuhi kemampuan berijtihad. Memberikan fatwa itu hanya boleh
dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat mujtahid.
3.
Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa
bila di wilayah itu tidak ada orang yang mencapai derajat mujtahid yang
memberikan fatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika
tidak diperbolehkan maka urusan hukum akan terlantar.
4. Seorang muqallid boleh membrikan fatwa meski belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena tugasnya hanya menukilkan pendapat imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering berlaku waktu ini.[7]
4. Seorang muqallid boleh membrikan fatwa meski belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena tugasnya hanya menukilkan pendapat imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering berlaku waktu ini.[7]
[1]Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written
Arabic (London: MacDonald & Evans Ltd., 1980), hal. 696.
[2]Muhammad
al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’
al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080), hal. 69.
[3]Muhammad
Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam,
1435/2994), hal. 37.
[4]Ibid.,
hal. 38.
[5]Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir, 1984), hal. 35.
[6] Ijtihad and fatwa are used
interchangeably, the main difference between them being that ijtihad has a greater juridical
substance which explains its own evidential basis, where fatwa often consists of a verdicts or opinion that is given in
response to a particular question. It is not a requirement of fatwa to explain
its evidential basis and it may be either very brief or in greater depth and
detail. Mohammad Hashim Kamali, Shariah
Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.
[7] Prof. Dr.
H. Amir Syarifudin. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 457-458
:>)
BalasHapus