A. Akulturasi dan Inkulturasi
Semua kebudayaan pada
suatu saat akan mengalami perubahan karena berbagai macam sebab. Perubahan
kebudayaan ada yang dikarenakan lingkungan yang menuntut adanya perubahan,
terjadi secara kebetulan, direncanakan atau karena adanya percampuran dengan
kebudayaan lain. Oleh karena itu, penyebab perbedaan tersebut adakalanya
berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri atau dari luar masyarakat. Ada
berbagai macam mekanisme atau proses perubahan kebudayaan, salah satunya adalah
melalui proses akulturasi dan inkulturasi.
a.
Pengertian
Akulturasi
Akulturasi
ialah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang
berbeda. Unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu.[1] Atau
secara sederhana dapat dikatakan bahwa Akulturasi adalah proses percampuran dua
kebudayaan atau lebih.[2]
Berdasarkan pengertian di atas,
akulturasi disebut pula kontak kebudayaan, yaitu proses pengambilan dan
pemberian unsur-unsur kebudayaan tertentu dari dua jenis kebudayaan atau lebih
sebagai akibat adanya pertemuan dua kelompok masyarakat atau lebih dalam jangka
waktu yang lama. Adanya proses perpaduan tadi menyebabkan terjadinya perubahan
budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
Menurut
Haviland (1988:263) variable yang mempengaruhi proses akulturasi adalah tingkat
perbedaan kebudayaan, keadaan, intensitas, frekuensi, dan semangat persaudaraan
dalam hubungannya, siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah
datangnya pengaruhitu timbal balik atau tidak.
b.
Pengertian
Inkulturasi
Inkulturasi
adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani, terutama dalam Gereja Katolik Roma, yang
merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat diajukan pada
kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk memengaruhi
kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran gereja.[3]
B.
Persinggungan Islam dengan
Kebudayaan Lokal
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada nabi
muhammad yang berdomisili di jazirah arab. Oleh karena itu ajaran dan ritual
keagamaan saat itu kental dengan budaya arab.
Cara pakaian nabi pun merupakan pakaian khas orang arab. Nah, kemudian
masalah yang timbul adalah ketika islam sudah menyebar ke seluruh dunia, dalam
artian islam sudah meninggalkan daerah dimana islam itu sendiri dilahirkan,
yaitu arab. Apakah umat islam di laur arab harus mengikuti semua yang dilakukan
oleh nabi, tanpa memilah milih antara ajaran islam yang murni dan budaya arab.
Nah disini diperlukan kecakapan untuk memahami islam dan memilah antara islam
dan budaya, khususnya budaya arab. Oleh karena itu ketika islam sudah menyebar
ke daerah non arab, maka kemudian yang ditransformasikan adalah ruh dari ajaran
islam itu sendiri, bukan islam sebagaimana yang ada di arab. Maka kemudian,
ketika islam sudah menyebar di daerah non arab, islam harus menyesuaikan dengan
budaya dimana islam itu menyebar. Menyesuaikan diri tidak harus sama dengan
budaya tersebut, namun islam harus mampu mewarnainya dengan nafas islam dengan
tanpa membuang kebudayaan itu.
Dalam mewarnai suatu kebudayaan dengan nafas islam
harus diperhatikan beberapa hal:
1.
Kebudayaan tersebut tidak harus sepenuhnya bercorak
islam pada waktu itu juga. Dalam artian harus melalui proses yang sangat
panjang dan membutuhkan waktu yang sangat lama.
2.
Kebudayaan –yang telah diberi nafas islam- masih
sesuai dengan tujuan Islam, yaitu sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Seperti pakaian adat tidak diganti dengan pakaian yang tidak memberikan
kenyamanan bagi masyarakat atau bisa mengganggu masyarakat. Seperti pakaian
adat tidak diganti dengan gamis seperti yang dipakai nabi jika memang gamis itu
tidak cocok dengan masyarakat. Karena Allah sendiri menghendaki kemudahan bagi
hambanya.
Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal,
dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful,
kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik
sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya
menjadi tema peradaban Islam.[4]
Contoh yang paling urgen tentang
persinggungan budaya dengan Islam adalah ketika Budaya Jawa pada zaman
Hindu-Budha bersinggungan dengan penyebaran Islam pada masa itu.
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau
kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di tanah Jawa, semasa zaman
Hinduisme dan Budhisme Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga
dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek
kejawen sebagai jalur penyerata yang baik bagi penyebarannya. Walisongo
memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Unsur-unsur dalam
Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa semacam pertunjukan wayang
kulit, dendangan lagu-lagu Jawa, ular-ular (dalam budaya Jawa sangat sarat
dengan filsafat hidup), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang
dikembangkan, khususnya di Kerajaan Mataram (Yogya/Solo).[5]
Ciri yang menonjol dari struktur masyarakat
Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha adalah didasarkan pada
aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang
merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu
kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan
pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang
(ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi
pendukungnya. Dengan upacara-upacara slametan, ruh nenek moyang menjadi
sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai
sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam
tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai pengemong dan
pelindung keluarga yang masih hidup.
Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang
dipersonifikasikan dalam bentuk punokawan. Agama asli mereka adalah apa yang
oleh antropolog disebut sebagai religion magic dan merupakan sistem budaya yang
mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau
keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui abdi dalem atau pegawai istana
mulai dari pujangga sampai arsitek Raja mempunyai kepentingan-kepentingan
mencipatakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya.
Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos yang kemudian mitos
tersebut dihimpun dalam babad, hikayat, lontara dan sebagainya. Adapun tujuan
yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya
simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.[6]
Di antara Walisongo yang dianggap paling
menonjol ketenaran maupun peranannya di tanah Jawa adalah Sunan Kalijaga.
Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang mubaligh handal, budayawan yang
santun, politikus, ahli tasawuf, filsafat dan cendekiawan. Ki Siswoharsoyo
dalam Serat Guna Cara Agama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga, dalam kaitannya
dengan ke-Budhaan dan ke-Islaman, pernah mengajukan usul pada rapat para wali.
Isi usul antara lain seperti berikut: Usaha untuk merubah kuatnya pendirian
rakyat yang masih tebal kepercayaan terhadap agama Budha, agar supaya memeluk
agama Islam, harus diusahakan dengan cara yang begitu rupa, sehingga hatinya
tetap senang dan terbuka.[7]
Karya-karya beliau dalam seni dan budaya
sangat banyak, seperti Grebeg Mulud, Gong Sekaten, Bedug, Seni suara, Seni
ukir, Wayang kulit, baju takwa dan gamelan. Beliau juga banyak menulis cerita
pewayangan, seperti serat Dewa Ruci, Jimat kalima Sada, Petruk Jadi Raja, Pandu
Pragola, Semarang Ambarang Jantur, Mustaka Weni, Suluk Linglung, dan lain-lain.
Selain itu juga beliau juga menyusun doa-doa atau mantra, seperti Kidung ing
Wengi, Mantra Betuah, puji-pujian dan lain-lain, yang sampai sekarang doa-doa
atau mantra tersebut di kalangan masyarakat Jawa masih dianggap sebagai Kidung
wingit (mantra sakti).
Cara-cara usaha yang baik yang disukai oleh
rakyat itu harus seiring dengan tata cara rakyat banyak, yang bertalian dengan
kepercayaan agama mereka yang lama (Budha). Ajaran ke-Islaman yang disampaikan
kepada rakyat, harus dimulai sedikit demi sedikit. Sehingga mereka merasa
gampang dan ringan mengamalkan agama Islam. Mengamalkan rukun Islam yang lima,
hal itu (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) walaupun baru syari’at
namanya, tetapi orang yang baru mendengar sudah dirasa berat. Kalau dipaksa
harus mengamalkan seluruhnya, malah menyebabkan enggan masuk Islam. Oleh karena
itu seyogyanya dimulai dengan membaca kalimat syahadat dulu, asal sudah mau
mengucapkan.
Dalam perjalanan sejarah, agama Islam telah
mengubah wajah dan kiblat orang Jawa. Namun, kuatnya tradisi Jawa membuat Islam
mau tak mau harus siap berakulturasi. Wujud akulturasi tersebut menjadi ajaran
khas Jawa, yang dikenal dengan nama Islam Kejawen. Kini Islam dan Kejawen
hampir tidak bisa dipisahkan menjadi satu warna baru yang berkembang di tanah
Jawa.
Akbar S. Ahmed seorang Antropolog asal
Pakistan mengemukakan bahwa Islam sebagai tradisi besar dan kebudayaan setempat
sebagai tradisi kecil tidak lagi dilihat dalam kerangka penundukan tetapi
justru dalam unsur-unsur lokal. Ia tidak hanya melihat Islam sebagai unsur yang
universal tapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal (Kejawen) tidak
dipandang sebagai unsur rendah yang harus mengalah pada Islam. Di sinilah Akbar
memandang “sinkretisme Islam” tidak lagi sebagai sesuatu yang pejoratif tapi
justru memperlihatkan adanya dialog.[8]
Ranggawarsita sebagaimana dikutip Dhanu Prio
Prabowo mengatakan:
“Hubungan antara Islam dan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, yang secara bersama-sama menentukan nilai mata uang tersebut. Pada satu sisi, Islam yang datang dan berkembang di Jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara, pada sisi yang lain budaya Jawa makin diperkaya oleh khasanah Islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya melahirkan ciri yang khas sebagai kebudayaan sinkretis, yakni Islam Kejawen. Pada titik inilah terjadi semacam “simbiosis mutualisme” antara Islam dan budaya Jawa. Keduanya dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang sangat memungkinkan untuk saling berkonfrontasi."[9]
“Hubungan antara Islam dan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, yang secara bersama-sama menentukan nilai mata uang tersebut. Pada satu sisi, Islam yang datang dan berkembang di Jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara, pada sisi yang lain budaya Jawa makin diperkaya oleh khasanah Islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya melahirkan ciri yang khas sebagai kebudayaan sinkretis, yakni Islam Kejawen. Pada titik inilah terjadi semacam “simbiosis mutualisme” antara Islam dan budaya Jawa. Keduanya dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang sangat memungkinkan untuk saling berkonfrontasi."[9]
Menurut Simuh, Islam Kejawen merupakan
perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Terutama
aspek-aspek ajaran tasawuf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan
kitab-kitab tasawuf. Ciri-ciri Islam Kejawen, ialah mempergunakan bahasa Jawa,
dan sangat sedikit menggunakan aspek syari’at, bahkan ada yang kurang
menghargai syari’at.[10]
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Simuh
mengungkapkan bahwa:
“Agama Jawa atau Kejawen itu adalah suatu komplek keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dengan unsur-unsur Islam dan diaku sebagai agama Islam. Varian agama Islam santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur Animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.”
“Agama Jawa atau Kejawen itu adalah suatu komplek keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dengan unsur-unsur Islam dan diaku sebagai agama Islam. Varian agama Islam santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur Animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.”
Jadi, Islam Kejawen yang berkembang di Jawa
merupakan keselarasan budaya yang berakulturasi antara budaya Jawa dan Islam.
Perpaduan ini menjadi dua sisi mata uang yang secara bersama-sama saling
menentukan nilai mata uang tersebut. Ajaran yang dikembangkan dari perpaduan
ini adalah unsur-unsur budaya, mistik, budi luhur, dan sangat sedikit yang
menyentuh syari’at. Maka akhirnya masyarakat Jawa dapat menerima perpaduan
tersebut dengan tangan terbuka.
Walaupun penduduk Jawa pada akhirnya memeluk
agama Islam, namun mereka masih membiarkan dirinya larut ke dalam kepercayaan
dan ritus-ritus lama yang sudah berurat akar sampai ratusan tahun. Mereka
inilah yang dikenal oleh kalangan santri dengan istilah golongan abangan. Orang
santri menilai kaum abangan itu sebagai orang Islam yang sekedar menjalankan
salah satu rukun Islam saja, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan
empat rukun Islam yang lain cenderung diabaikan, seperti sembahyang, membayar
zakat, puasa Ramadhan, apalagi keharusan menjalankan ibadah haji ke Mekah.
Menurut Dr. Suwarno Imam, kelompok abangan
adalah orang yang percaya pada agama Islam tapi tidak taat menjalankan syari’at
ajaran Islam. Mereka lebih suka mengikuti tradisi-tradisi yang masih berbau
Hindu-Jawa, tetapi kelompok ini mengaku beragama Islam.[11]
Sunan
Kalijaga mempunyai peranan amat penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa। Selain
Syekh Siti Jenar, hanya beliau yang aktif menyebarkan agama Islam dengan
menggunakan kultur Jawa sebagai medianya. Sunan Kalijaga adalah nama yang akrab
di kalangan Islam Jawa. Meski Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga sama-sama
mengajarkan makrifat, namun caranya berbeda. Syekh Siti Jenar lebih
menitikberatkan pada olah batin untuk “diri sejati”. Sedangkan Sunan Kalijaga
lebih memfokuskan pengalaman praktis kehidupan sehari-hari orang Jawa dalam
memahami “sangkan paran” (Asal dan kembalinya manusia). [12]
C.
Mengislamkan
Budaya
Westernisasi, sekularisasi, liberalisasi, Kristenisasi
dan lain sebagainya adalah istilah-istilah resmi. Istilah itu mengandung konsep
yang bermuatan nilai, kepercayaan atau ideologi. Istilah ini juga merupakan
gerakan penyebaran nilai, agama, ideologi, cara berfikir. Dalam Islam juga
terdapat istilah “Islamisasi”. Meski istilah ini baru dipopulerkan oleh
al-Attas tahun 70 an, prakteknya telah berjalan sejak zaman Nabi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam yang
sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab
praktek kehidupan Jahiliyah di Islamkan. Menikah disucikan, berdagang
ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara khusus,
kemusyrikan di tauhidkan. Di dunia Melayu Islam mencerahkan worldview mitologis
menjadi rasional. Buktinya banyak aspek kehidupan bangsa Melayu menggunakan
istilah-istilah Arab. Nama dan jumlah hari dalam seminggu adalah hasil
Islamisasi. Istilah keilmuan Islam seperti nalar, fikir, ilmu, jasmani, lahir,
batin, kalbu, sadar, adil, zalim, dsb diambil dari worldview Islam. Masa itu Islamisasi
berjalan wajar tanpa peperangan dan resistensi.
Namun, kini istilah “Islamisasi” menjadi menakutkan
dan ditolak banyak pihak secara tidak wajar. Bahkan gerakan yang berbau Islam
pun segera diberi label Islamisasi. Pemberlakuan undang-undang pornografi,
(PERDA) anti perjudian, pelacuran, minuman keras, dsb. dianggap gerakan
Islamisasi. Ketika Prof.M.Salim mengadakan pameran 1001 Inventions – Discover
The Muslim Heritage In Our World, di Museum of London, ia segera dituduh
melakukan Islamisasi Inggeris. Di Perancis mengenakan jilbab juga
dianggap Islamisasi. Jadi dunia tidak saja menolak istilah Islamisasi, tapi
segala gerakan yang berbau Islam adalah upaya Islamisasi dan itu dianggap
“berbahaya”.
Kasus di atas menjalar kepada gerakan Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer (Islamization of contemporary knowledge). Tidak sedikit
professor yang “alergi” dengan istilah ini. Alasannya beragam. Fazlur Rahman
menganggap ilmu itu netral dan tidak perlu di-Islamkan. Abdussalam peraih Nobel
Fisika dari Pakistan juga sinis, “jika ada Ilmu Islam, maka disana nanti akan
ada ilmu Hindu, ilmu Buddha, ilmu Kristen.” Ada pula yang menyindir jika
Islamisasi ilmu berhasil, maka nanti akan ada pesawat terbang Islam, sepeda
motor Islam, kereta api Islam dsb.
Di Indonesia para professor yang enggan menerima
istilah itu mengganti dengan istilah “Pengilmuan Islam” atau integrasi ilmu.
Konon untuk sekedar menghindari arogansi yang terkandung pada istilah
“Islamisasi”. Tapi ini justru mengesankan inferiority complex, seakan Islam itu
tidak ilmiyah. Sedang yang kedua masih menyisakan banyak hal. Sebab integrasi
sesuatu yang kontradiktif jelas tidak mungkin. Integrasi, karena itu. harus
berakhir dengan Islamisasi.
Benarkah ilmu itu netral? Jawabnya tentu tidak. Para
saintis Barat sekelas Thomas Kuhn percaya bahwa ilmu itu sarat nilai. Jika
netral mengapa ilmu politik Amerika tidak laku di Rusia, dan mengapa ilmu waris
dalam Islam tidak dipakai saja di Barat. Sejarah ilmu membuktikan bahwa ilmu
tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, masing-masing worldview berpengaruh
besar dalam menentukan asumsi dasar ilmu, meski dalam beberapa aspek
metodologinya bisa sama. David K Naugle dalam bukunya Worldview, History of
Concept juga sepakat. Namun menurutnya “..pengaruh worldview terhadap
epitemologi berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Ilmu sosial lebih banyak
dibanding ilmu eksak.
Karena ilmu tidak netral itulah maka Islamisasi
menjadi mungkin. Konsepnya, Professor Naquib al-Attas, cukup sederhana.
Pertama mengeluarkan elemen-elemen asing dari setiap cabang ilmu
pengetahuan masa kini yang tidak sesuai dengan Islam. Tentu elemen itu tidak
sedikit, karena menyangkut proses epistemologi, seperti interpretasi
fakta-fakta, formulasi teori, metode, konsep, aspek-aspek nilai dan etika,
dan lain sebagainya. Kedua, memasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci
Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Konsep-konsep itu adalah konsep tentang din, manusia (insan), ilmu (ilm dan
ma’rifah), keadilan (‘adl), amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.
[2] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya;
Arkola, 2001, hal. 18
[3]http://www.google.com/search?ie=UTF8&oe=UTF8&sourceid=navclient&gfns=1&q=inkulturasi+budaya+dalam+islam
[5]
Dr. Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan
Bintang Budaya, 1995.
[6]
Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press, 1992.
[7]
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Kudus: Menara, 1974.
[8]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1996.
[9]
Dhanu Prio Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita,
Yogyakarta: Narasi, 2003.
[10]
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jat, Jakarta: UI Press, 1988.
[11]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
[12]
Ahmad Chodim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar