Gender Dalam Konstruksi Hukum Perkawinan dan Pewarisan Islam

Latar Belakang
Perempuan merupakan makhluk seutuhnya sebagaimana laki-laki, memiliki bentuk yang sempurna dilengkapi dengan akal pikiran dan hati nurani. Namun dalam perjalanan kehidupannya terdapat banyak keunikan dan kontroversi. Sejarah sendiri telah menunjukan, kedudukan perempuan seringkali dipersoalkan dan diperdebatkan kapan pun dan di mana pun. Hal ini sangat berbeda dengan laki-laki, hampir di seluruh belahan dunia, sejarah memandangnya sebagai manusia sempurna yang tidak memiliki kecacatan sedikit pun, baik yang disebabkan oleh ajaran agama maupun konstruks sosial-budaya.
Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena dalam al-Quran telah dijelaskan bahwa manusia itu memiliki kedudukan yang sama di mata Allah, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Karena adanya pandangan bahwa laki-laki adalah manusia sempurna, maka munculah istilah gender untuk menghilangkan anggapan bahwa laki-laki adalah manusia paling sempurna, karena pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama.
Namun dalam pembaharuan kedudukan perempuan ini, menimbulkan banyak hal-hal yang menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah dengan mengatasnamakan kesetaraan gender.
Gender juga dikaitkan dengan perkawinan dan kewarisan, yang mana dengan mengatasnamakan gender hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh laki-laki berarti juga boleh dilakukan oleh perempuan, dan apa yang berhak diterima laki-laki juga berhak diterima oleh perempuan.
Sebenarnya gender adalah kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang mana tidak menyalahi aturan yang berlaku dalam hukum islam, karena islam sudah mengatur dalam hal apa saja laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan, dan dalam hal apa saja antara laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang berbeda.

Pengertian Gender dan Kedudukan Perempuan dalam Al-Quran

a.    Gender
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu . Oleh karena itu, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yang dibentuk secara kultural. Gender adalah konsep yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan melalui kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing dalam berbagai macam kehidupan dan pembangunan.
Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu, gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, gender tidak bersifat universal melainkan bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak terjadi kerancuan dan pemutar balikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin dan gender.
 
b. Kedudukan Perempuan dalam Al-Quran
Kedudukan perempuan dalam hukum islam, akan ditinjau dalam Al-Quran. 

1.  Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba
Terkait dengan kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya berpotensi menjadi hamba yang ideal sebagaimana firman Allah QS. Al-Hujarat: 13
يأيها الناس إنا خلقنا كم من ذكر و أنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya:  Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menegaskan bahwa standar kemuliaan seorang hamba adalah nilai ketakwaannya, jadi, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang setara dimata Allah.
2.    Laki-laki dan perempuan sebagai kha>lifah di bumi
Kapasitas manusia sebagai kha>lifah di bumi dijelaskam dalam firman Allah QS. Al-An’am: 165 :
 وهو الذي جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما اتاكم إن ربك سريع العقاب وإنه لغفور رحيم
Artinya:  Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata khalifah  dalam ayat tersebut tidak menunjukan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu, jadi laki-laki dan perempuan memilik peranan yang sama sebagai khalifah di bumi.
3.    Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi
Dalam meraih prestasi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah QS. Al-Nahl: 97
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia berpotensi dalam meraih kehidupan yang baik, baik itu di dunia maupun diakhirat, semuanya tergantung pada usaha.
 

Sedangkan menurut Khoiruddin Nasution membagi menjadi 8 kelompok dalam al-Quran yang menunjukkan kesetaraan dan sifat patnership perempuan dan laki-laki diantaranya adalah:
  1. Statemen umum tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, dalam QS. Al-Baqarah: 187
  2. Kesetaraan asal-usul, dalam QS. Al-Nisa: 1
  3. Kesetaraan amal dan ganjaran, QS. Al-Imran: 195
  4. Kesejajaran untuk saling mengasihi dan mencintai, dalam QS. Al-Rum: 21
  5. Keadilan dan persamaan, dalam QS. Al-Baqarah: 177
  6. Kesejajaran dalam jaminan sosial, dalam QS. Al-Baqarah: 177
  7. Saling tolong-menolong, dalam QS. Al-Taubah: 71
  8. Kesempatan mendapatkan pendidikan, dalam QS. Al-Mujadalah: 11

Kosekuensi dan Ketidakadilan Gender

a.    Gender dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu (dalam hal ini perempuan) disebabkan oleh perbedaan gender.
b.     Gender dan Subordinasi
Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irrasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person).
c.     Gender dan Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah stereotipe yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotipe yang melekatnya.
d.     Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terjadi karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam itu disebut “gender-related violence” yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat.
e.    Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala keluarga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu beban kerja perempuan menjadi berat dan alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya.bak
 

Hubungan Gender dengan Perkawinan

Al Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, di mana hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra-Islam yang ditransformasikannya.
Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami atau bapaknya boleh mencampuri hartanya. Kekayaan itu termasuk yang didapat melalui pewarisan ataupun yang diusahakan sendiri. Oleh sebab itu mahar atau mas kawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya.
Dalam hukum positif Indonesia, hak dan kewajiban suami isteri ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Dalam sejarahnya, perumusan Undang-undang ini mendapatkan pertentangan terutama dari kalangan perempuan yang ingin memperjuangkan hak-hak mereka, sebagai contoh adalah masalah poligami dan talaq, hal tersebut dikarenakan kaum perempuan merasa hal tersebut adalah bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kaum pria yang merendahkan derajat kaum perempuan. Pada saat itu materi tentang peran suami dan isteri dalam rumah tangga tidak terlalu mendapatkan sorotan yang signifikanseperti saat ini.
Memasuki era globalisasi seperti sekarang, banyak kalangan aktifis perempuan yang menyuarakan bahwasanya keberadaan UU Perkawinan tersebut bias terhadap permasalahan gender. Seperti dilihat dalam pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang tegas menyebutkan bahwa:
“suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga”
Serta pasal 34 :
“suami wajib melindungi isteri dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”
 
Pasal tersebut senada dengan pernyataan dalam pasal 79 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang juga menyatakan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Dalam pandangan aktifis perempuan tersebut, pasal-pasal tersebut memberi justifikasi bahwa kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga (pimpinan) mempunyai tanggung jawab nafkah atas keluarganya, sehingga tugas mereka adalah di ranah publik. Sedangkan isteri adalah sebagi rumah tangga bertugas di ranah domestik, mengurusi anak dan suami. Kebijakan pemerintah pada pasal tersebut semakin melegitimasi berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Pembagian tugas publik dan domestik dianggap bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ditambah lagi kurang adanya penghargaan terhadap pekerjaan domestik. Adanya domestifikasi ini mendudukan perempuan sebagai makhluk nomor dua (the second sex).
Pasal tersebut juga semakin menguatkan budaya patriarkhi yang beranggapan bahwa perempuan   tidak  memiliki  hak  untuk  menjadi  pemimpin  dalam  rumah  tangga, sebaliknya  ia  berhak  untuk   diatur.  Pekerjaan  domestik  yang  dibebankan  kepada perempuan dilakukan bersama-sama dengan  fungsi reproduksi haid, hamil, menyusui dan  sebagainya.  Sementara  laki-laki  dengan  peran   publiknya  menurut  kebiasaan masyarakat (konstruksi sosial), tidak bertanggungjawab terhadap beban kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.
Posisi perempuan masih sering dihadap-hadapkan dengan posisi laki-laki. Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan urusan keluarga dan kerumahtanggaan. Sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di luar rumah.
Dalam struktur sosial, posisi perempuan yang demikian sulit mengimbangi posisi laki-laki. Perempuan berkiprah di lingkungan publik, masih sulit melepaskan diri dari tanggungjawab di lingkungan domestik. Perempuan dalam hal ini kurang berdaya untuk menghindar dari beban ganda tersebut karena tugasnya sebagai pengasuh anak sudah menjadi persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya agaknya lebih ketat kepada perempuan daripada laki-laki. 
Jika melihat prospek dan pengembangan citra peran perempuan dalam keluarga di era modernitas, maka akan terbentuk beberapa kategori diantaranya:  1) manajer rumah tangga (menjadi istri, ibu, keluarga, dan ibu rumah tangga), 2) pekerja dan manajer rumah tangga, dan 3) pekerja profesional. Jika dihitung dari perempuan usia dewasa (angkatan kerja), kombinasi kategori 2) dan 3) diperkirakan menghasilkan proporsi 1:1 dengan kategori pertama, selanjutnya dari segi peran pemilahan yang akan terjadi dapat terbentuk:
a.  Peran tradisi
     Menempatkan perempuan dalam fungsi reproduktif (mengurus rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak, mengayomi suami). Hidupnya 100 persen untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, perempuan di rumah, laki-laki di luar rumah.
b.   Peran transisi
      Mempolakan peran tradisi lebih utama dari yang lain. Pembagian tugas menurut aspirasi Gender tetap eksis mempertahankan keharmonisan dan urusanrumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan.
c.  Dwi peran
   Memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, peran domestik-publik sama penting. Pendapat suami menjadi pemicu ketegaran dan keresahan.
d.  Peran egalitarian
    Menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian laki-laki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan.
e.    Peran kontemporer
    Adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlahnya belum banyak tetapi benturan demi benturan dari dominasi laki-laki yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya.
Peran perempuan sebagai istri dalam rumah tangga adalah sebagai penanggung jawab dan pengelola ekonomi rumah tangga. Pendapatan keluarga yang bersumber dari usaha suami istri, kemudian diatur pengeluarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dan mendapatkan serta memenuhi syarat-syarat berikut:
  • Saling mengerti, mengerti latar belakang pribadi pasangan masing-masing dan mengerti diri sendiri.
  • Saling menerima, terimalah ini sebagaimana adanya, terima hobi, kesenangan, dan kekurangannya.
  • Saling menghargai, menghargai perkataan, perasaan, bakat dan keinginan, serta menghargai keluarganya.
  • Saling mempercayai, percaya pribadi dan kemampuannya.
  • Saling mencintai, dengan cara lemah lembut dalam pergaulan dan pembicaraan, menunjukkan perhatian kepada suami/istri, bijaksana dalam pergaulan, menjauhi sikap egois, tidak mudah tersinggung, dan menunjukkan rasa cinta.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam sendiri, pengaturan mengenai pembagian hak dan kewajiban suami isteri dalam sebuah rumah tangga, dapat dilihat dalam pasal berikut:
Pasal 79 :
  1. Suami adalah kepala keluarga, dan isteri ibu rumah tangga.
  2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
  3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Selanjutnya dalam pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap isteri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut :
  1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangganya yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
  2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
  4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak.
  5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
  6. Isterinya dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
  7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman, Kompilasi mengaturnya tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut :
  1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
  2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
  3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan dari pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
  4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Melihat beberapa pasal di atas tersebut, sebetulnya ada upaya dari pemerintah untuk melindungi hak-hak isteri dalam berumah tangga. Adapun masalah gender yang selama ini banyak dipermasalahkan oleh aktivis perempuan dewasa ini, merupakan buah dari ketidakpercayaan (trust) terhadap pemerintah untuk mengawal hak-hak perempuan. Dan ini harus ada upaya bersama agar seorang perempuan dalam menjalankan perannya sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya sesuai dengan koridor dan kemampuan yang dipunyai perempuan tersebut.

Hubungan Gender dengan Kewarisan

Tampaknya revolusi terbesar dalam seratus tahun terahkir ini adalah transpormasi kedudukan wanita dalam masyarakat, baik dilihat dari kedudukan social maupun dari sudut kebudayaan. Yang demikian itu terjadi setelah kesadaran manusia mengenai peran wanita dalam kehidupan bersama di alam ini. Mengiringi kesadaran baru inilah muncul sejumlah konsep gender yang mengacu pada kebangkitan wanita tersebut.
Di Indonesia, dewasa ini terlihat adanya gejala yang menunjukkan adanya trend kebangkitan kaum wanita yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk penyamaan hak, kewajiban dan persamaan peran dengan kaum laki-laki dalam berbagai segi kehidupan.  Gerakan kesetaraan gender ini oleh sebahagian kalangan wanita disambut dengan eforia, dan berusaha memperjuangkannya tanpa mengenal batas perbedan biologis antara pria dan wanita, seperti yang dilakukan oleh kelompok feminis yang mengatakan bahwa konsep gender adalah konstruksi social, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran social, karenanya segala jenis pekerjaan yang berbau gender, misalnya perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan, dan pria sebagai pencari nafkah keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan social, kalau tidak, akan sulit menghilangkan kondisi ketidak setaraan.
Konsep kesetaraan gender adalah bagian integral dari usaha mewujudkan masyarakat setara 50/50. Salah satu usaha untuk mempraktikkan konsep ini adalah dengan mengadakan transformasi sosial agar struktur masyarakat menjadi simpel, caranya yaitu:
  1. Tidak ada stratifikasi dalam masyarakat, setiap komponen dalam masyarakat adalah sama, sehingga pembagian structural dalam masyarakat adalah tidak relevan.
  2. Tidak ada keragaman dalam sifat, kemampuan dan keinginan manusia, maka setiap individu dalam masyarakat akan mempunyai fungsi utilitas yang sama, dan kepuasan yang sama.
  3. Karenanya segala alokasi sumber daya harus seragam.
Konsep gender yang menginginkan 50/50 ini jika diterapkan, maka harus meniadakan keragaman biologis manusia, dan meniadakan segala struktur yang dapat menimbulkan division of labor (pembagian kerja dalam masyarakat) dalam keluarga. Inilah sebabnya mereka yang melibatkan perubahan structural masyarakat, yang tentunya menyangkut perubahan nilai, agama, budaya dan hokum agar semuanya menjadi seragam.
Mereka tidak menyadari bahwa de facto, kenyataan yang ditemui secara empiris, pria dan wanita itu berbeda, para feminism boleh saja menguraikan secara de jure bahwa tidak ada implikasi perbedaan biologis antara pria dan wanita. Akan tetapi sudah dapat dipastikan secara de factoi hormon wanita dan pria berbeda, ini tampaknya berlaku secara universal dan dapat dijumpai pada setiap tempat.
Kalangan feminism tidak menyadari, bahwa masyarakat yang terstruktur merupakan kenyataan yang selalu ada di muka bumi ini, karena masyarakat butuh aturan dan tatanan agar terciptanya kehidupan yang aman dan tentram, kalau boleh penulis mengatakan, bahwa mereka sebenarnya mau hidup tanpa aturan, bahkan tanpa moral dan etika, sebagai pemeluk agama pun bukan persoalan penting bagi mereka, yang penting bagi mereka adalah prinsip hidup setara, tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri.
Kesetaraan gender yang menginginkan keadaan yang sama antara pria dan wanita, tentunya memerlukan asumsi yang mendasarinya, karena untuk menerangkan suatu proposisi, atau hubungan antara suatu konsep dengan konsep yang lain, maka hubungan tersebut terbentuk dengan memakai beberapa asumsi, asumsi ini sering tidak diuraikan secara eksplisit, namun secara sadar atau tidak, merupakan bagian integral dari cara pandang kita melalui suatu hal, sering seseorang memegang teguh suatu pendapat atau sebuah teori karena ia percaya bahwa asumsi yang dipakainya adalah benar. Namun, kebenaran ini sekali lagi tergantung pada asumsi yang dipakainya. Hingga nilai kebenaran tersebut tidak dapat dikatakan pasti benar atau pasti salah, karena dalam menilai suatu asumsi harus dikaitkan dengan suatu konteks dimana asumsi itu dapat berlaku, maka kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan yang menyesatkan.
Penggunaan suatu asumsi dapat diilustrasikan, misalnya sebuah keluarga A dengan beranggotakan lima orang ( ayah, ibu, dan tiga orang anak dewasa ) ingin membagi rata sebuah kue besar. Maka, setiap orang akan mendapatkan 1/5 bagian kue tersebut. Tentunya, pembagian sama rata ini berdasarkan suatu asumsi bahwa setiap orang mempunyai kapasitas yang sama dalam hal kemampuan untuk menghabiskan porsi tersebut, mempunyai tingkat kesukaan yang sama, dan tingkat kebutuhan yang sama. Ternyata, asumsi ini berlaku pada keluarga A, sehingga pembagian sama rata akan menghasilkan tingkat kepuasan yang sama pada seluruh anggota keluarga. Karenannya, kalau ada seseorang yang mendapatkan porsi yang lebih kecil dari yang lainnya, maka dalam keluarga tersebut dapat dikatakan ada praktik diskriminasi, di mana ada seseorang atau kelompok anggota keluarga yang dirugikan.
Akan tetapi, apabila dalam keluarga B dengan anggota dan komposisi yang sama dengan keluarga, ada seseorang atau segolongan orang yang tidak terlalu suka makan kue, atau sangat peduli dengan berat badan, atau memang kapasitas perutnya tidak bisa menerima kue terlalu banyak, maka alokasi pembagian kue pada seluruh anggota keluarga akan berbeda. Mungkin si ibu atau anak gadisnya akan mendapartkan porsi lebih lebih sedikit daripada ayah atau saudara laki lakinya, karena alasan diet atau takut gemuk. Bisa juga si ayah kaerena ingin mencegah penyakit gula dan kolesterol, akan mengambil porsi yang kecil saja. Pembagian kue sama rata dalam keluarga B tentunya akan menimbulkan rasa ketidakpuasan , dan mungkin akan dianggap tidak adil, karena asumsinya adalah setiap individu mempunyai kapasitas dan kebutuhan berbeda akan kue.
Adanya ketimpangan pembagian kue di keluarga A dan keluarga B, kalau ditinjau semata mata dari segi kuantitas perolehan porsi bagian kue, maka dapat disimpulkan dalam hal pembagian kue pada keluarga B ada diskriminasi dan ketidak adilan, kalau kebetulan kaum wanitanya mendapatkan porsi yang lebih kecil, maka kesimpulannya adalah kaum wanitalah yang selalu dirugikan.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perlakuan sama antara pria dan wanita tidak selalu mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dan oleh karena itu, asas hukum kewarisan Islam, (hak bagian warisan anak laki laki dua kali bagian anak perempuan) tidak bisa secara logika sehat dikatakan sebagai ketentuan hukum yang tidak adil, diskriminatif, dan bias gender. Karena, pembagian yang seperti itu berdasarkan suatu asumsi bahwa pria dan wanita mempunyai kapasitas yang berbeda dalam hal kemampuan, hak dan kewajibannya dalam hukum keluarga Islam, hukum kewarisan Islam sebagai sub sistem dari sistem hukum keluarga Islam, sudah tentu kebijakan kebijakan hukumnya dipengaruhi oleh sub sistem hukum lainnya dalam sistem hukum keluarga Islam.
Secara totalitas hukum keluarga Islam sebagai hukum Allah sudah pasti akan selalu mengedepankan keadilan. Ketentuan bagian warisan laki laki dua kali bagian perempuan, itu di dalamnya terkandung tujuan hukum yang luhur untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita, memberikan perlindungan hukum kepada mereka sebagai kaum yang biologisnya memerlukan untuk itu. Asas hukum kewarisan yang demikian itu, bisa saja diganti dengan asas kesetaraan, asal semuanya juga setara, sehingga kaum lelaki tidak lagi dibebani kewajiban kewajiban ekonomi dalam keluarga dan rumah tangganya. Dan jika itu yang menjadi tujuan dari perjuangan mereka, maka kaum lelaki akan sangat diuntungkan.
Manifestasinya, justru membuat kaum wanita menjadi lebih menderita. Di samping itu, realitas struktur sosial yang telah mapan sesuai dengan aturan yang berlaku, yang telah memberi perlindungan bagi kaum wanita, sesuai dengan kodrat kewanitaannya, adalah mustahil dapat dihilangkan. Dan sebagian besar kaum wanita justru telah merasa nyaman dan terlindungi melalui struktur sosial dalam kehidupan tradisional. Bahkan gerakan kaum egalitis liberal sendiri, kalau bukan karena malu dikatakan gagal di tengah jalan, mereka ingin kembali ke tatanan hidup dengan struktur sosial tradisional.

Simpulan
  1. Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial.
  2. Konsekuensi dan ketidakadilan gender berupa: marginalisasi perempuan, subordinasi terhadap perempuan, stereotipe terhadap perempuan, kekerasan terhadap gender, dan beban kerja yang di bebankan pada perempuan.
  3. Masalah gender yang selama ini banyak dipermasalahkan oleh aktivis perempuan dewasa ini, merupakan buah dari ketidakpercayaan (trust) terhadap pemerintah untuk mengawal hak-hak perempuan. Dan ini harus ada upaya bersama agar seorang perempuan dalam menjalankan perannya sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya sesuai dengan koridor dan kemampuan yang dipunyai perempuan tersebut.
  4. Ketentuan bagian warisan laki laki dua kali bagian perempuan, itu di dalamnya terkandung tujuan hukum yang luhur untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita, memberikan perlindungan hukum kepada mereka sebagai kaum yang biologisnya memerlukan untuk itu. Asas hukum kewarisan yang demikian itu, bisa saja diganti dengan asas kesetaraan, asal semuanya juga setara, sehingga kaum lelaki tidak lagi dibebani kewajiban kewajiban ekonomi dalam keluarga dan rumah tangganya.

 
DAFTAR PUSTAKA
Asni. 2012. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:Kementrian Agama Republik Indonesia.
Fakkih, Mansour. 1996.Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hazairin, 1981. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadis. Jakarta: Tinta Mas.
Mas'udi, Masdar F. 1997.  Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan.
Mudzhar, M. Antho. 1998.  Membaca Gelombang ljtihad Antara Tradisi dan Liberasi.Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Salman, Ismah. 2005.Keluarga Sakinah dalam Aisyiyah: “Diskursus Gender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah”. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah.
Salman, Otje. 1993.  Kesadaran Masyarakat Terhadap Hukum Waaris. Ban&mg: Alumni.
Umar, Nasarudin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina.
M. Abdul Hamid, dkk Undang-Undang Perkawinan dan Marginalisasi Perempuan (studi kritis terhadap Undang-undang Perkawinan NO. 1 Tahun 1974)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
http://riaadvocate.com/?p=216 diakses pada 17 september 2013
http://cintahakikiindonesia.blogspot.com kesetaraan-gender-keadilan-hukum-waris.html, diakses pada tanggal 20 September 2013
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Posting Komentar